Depok – Suara Kota |
Kota Depok saat ini diguncang terkait viralnya pemberitaan tentang kasus dugaan perbuatan pencabulan yang di alami siswi SMP yang dilakukan oleh anggota DPRD.
Pasalnya, kasus yang dilaporkan ke Mapolres Metro Depok tertanggal 22 September 2024 dengan nomor : LP/B/1996/IX/2024/SPKT/POLRES METRO DEPOK/POLDA METRO JAYA itu telah menetapkan RK anggota DPRD Kota Depok sebagai tersangka.
Praktisi dan Akademisi Hukum, Andi Tatang turut menyoroti kasus tersebut. Menurut Andi dalam proses penegakan hukum terdapat penyelidikan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana, kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan.
“Artinya dalam proses penyidikan, penyidik mencari alat bukti untuk membuat terang dan jelas peristiwa pidana, sekaligus menemukan dan juga menentukan tersangkanya. Dimana berdasarkan Pasal 1 angka 14 menyatakan, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,” jelas Andi dalam rilis yang diterima redaksi, Senin (6/1/2025).
Andi menuturkan, dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa atau tersangka.
“Jadi untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti dan ditentukan melalui gelar pekara. Berarti secara hukum suatu peristiwa pidana baru dapat ditetapkan tersangka setelah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang cukup dan alat bukti tersebut merujuk pada seseorang yang dinyatakan kemudian sebagai tersangka,” terang Andi.
Andi juga mengungkapkan, jika seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka keberatan atas penetapannya dengan alasan terdapat dugaan manipulasi atau rekayasa, maka pihak yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum Praperadilan.
“Namun Praperadilan tidak menyediakan ruang bagi penghentian penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana yang diselesaikan dengan jalur perdamaian,” tegas Andi.
Lebih jauh Andi mengatakan, dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, menegaskan pada Pasal 5 huruf a dan b menyatakan syarat materil dilakukannya keadilan restoratif yaitu tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat atau tidak berdampak konflik sosial.
“Pencabulan terhadap anak dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan yang saat ini meresahkan masyarakat dan berdampak pada konflik sosial. Artinya jenis tindak pidana kesusilaan ini tidak dapat dilakukan Restorative Justice,” ungkap Andi.
Soal sudah adanya klaim penyelesaian damai dugaan kasus perbuatan asusila tersebut, Andi dengan rinci membeberkan pandangan logika hukumnya, jika seseorang (pelaku) menyatakan telah berdamai dengan pihak korban atas suatu peristiwa, berarti para pihak menyadari telah terjadi suatu peristiwa tersebut tanpa bisa diingkati oleh satu dan lain pihak.
“Namun penyelesaian dengan berdamai hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana ringan atau tertentu, itu tertuang di Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Jadi tidak dapat diberlakukan untuk tindak pidana berat atau tindak pidana khusus termasuk pencabulan terhadap anak,” pungkas Andi.
Seperti diketahui, diduga siswa SMP berinisial A mengalami tindakan pencabulan yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD Kota Depok berinisial RK. Sontak kejadian tersebut membuat ramai jagad media sosial beberapa minggu ini.
(SK/Martchel)